Jumat, 12 Agustus 2016

Melawan Diskriminasi Religi di Australia dan Sikap Responsif Komisi HAM Disana

  • TULISAN ini memaparkan pengalaman pribadi saya melawan tindakan diskriminasi berbau agama yang dilakukan managemen sebuah restoran di Canberra, ibukota Australia, ketika saya masih kuliah dan tinggal disana.
    Di tulisan ini juga menggambarkan keseriusan komisi hak azasi manusia disana dalam menyelesaikan kasus yang saya hadapi.
    Kejadian bermula pada saat saya dan seorang teman, warga lokal disana, sedang hendak makan siang di sebuah restoran yang menyajikan masakan khas Australia di kawasan Dickson Shop, pada tanggal 9 September 2012.
    Dickson adalah salah satu suburb yang ada di Canberra yang terkenal sebagai pusat perbelanjaan barang-barang Asianya.
    Nama restoran tersebut adalah Dickson Tradies. Teman saya sengaja mengajak saya ke restoran itu karena restoran ini memang menjadi salah satu
    tujuan bagi warga lokal dan pendatang yang ingin menikmati menu-menu khas western ala Australia dengan harga yang cukup terjangkau.
    Saya pribadi juga sangat ingin kesana untuk mendapatkan pengalaman bersantap di restoran khas Australia, walaupun tidak bisa menikmati menu dagingnya melainkan hanya buah dan salad.
    Siang itu, kami berdua dengan penuh semangat mendayung sepeda ke restoran tersebut. Sekitar pukul 1.30 waktu Canberra, kami sampai dan memakirkan sepeda di tempat yang disediakan.
    Dengan semangat 45 ditambah perut yang sudah keroncongan, kami menuju resepsionis untuk reservasi.
    Maklum, untuk masuk ke restoran ini memang diharuskan memiliki kartu anggota. Tidak harus setiap pengunjung miliki kartu anggota tapi minimal satu diantara rombongan harus memegang member card.
    Kebetulan saya tidak memilikinya, melainkan teman saya.
    Setelah teman saya memberikan kartunya untuk diregistrasi dan membayar uang masuk sebesar 10 dolar atau sekitar Rp 100.000 (kurs Rp 10.000/dolar), si resepsionis yang juga wanita lokal, mulai memandangi saya dengan seksama.
    Tidak lama kemudian dia berkata kepada teman saya,” Jika teman kamu ingin masuk, saya harus memintanya untuk membuka penutup kepalanya?”
    Mendengar permintaan tersebut, kami berdua sangat terkejut. Kami pun bertanya,”Apa dan mengapa”? Si resepsionis lantas menjelaskan bahwa semua itu untuk alasan keamanan dan sudah menjadi kebijakan Dickson Tradies dimana kacamata, topi, dan penutup kepala lainnya harus dibuka.
    Si resepsionis lalu menunjukan poster yang memuat tentang aturan masuk ke lokasi restoran.
    dickson
    Foto: Dickson Tradies. Sumber foto: www.barsandpubs.com.au
    Padahal di poster tersebut jelas-jelas ada catatan bahwa pengunjung yang mengenakan penutup kepala untuk alasan agama tidak diharuskan membukanya.
    Resepsionis beralasan, jilbab yang saya kenakan menutupi kening saya sehingga kamera pengaman tidak bisa menangkap wajah saya secara jelas.
    Logikanya, jika nantinya terjadi sesuatu (tindakan kriminal atau pengeboman) maka wajah saya tidak akan tampak dengan jelas di kamera CCTV.
    Jujur saya merasa sangat shock dan terhina dengan perkataan si resepsionis. Selama hampir dua tahun saya berada di Australia, baru kali itu saya mendapatkan perlakuan diskriminasi dan ini menyangkut keagamaan.
    Bahkan selama saya berpergian ke beberapa negara Eropa dimana umat Muslim menjadi kaum minoritas, saya tidak sekalipun pernah mengalami diskriminasi
    apapun termasuk diskriminasi religi.
  • Ketika itu saya merasa sangat dilecehkan karena saya dianggap berbahaya dan karena saya seorang Muslimah yang berjilbab lantas saya dianggap sebagai teroris. Alasan sekuriti yang diungkapkan si resepsionis bagi saya tidak bisa diterima ketika saya memperhatikan banyak tamu lain dengan leluasa membawa tas punggung (ransel) dan jinjing masuk ke restoran tanpa melalui pemeriksaan.
    Saya sendiri pun membawa tas punggung yang berukuran lumayan besar dan tidak diperiksa.
    Bukankah tas punggung atau tas lainnya, menurut saya, lebih berbaya ketimbang hanya sebuah jilbab yang saya kenakan? Di dalam tas, saya atau orang lain bisa saja menyimpan bom, pistol, pisau, atau benda-benda lain untuk kejahatan.
    Atas perlakuan si resepsionis tersebut, teman saya merasa sangat malu dan menyarankan untuk mencari restoran lainnya. Saya berkata kepadanya,”Tidak. Mari kita tetap bersantab disini.”
    Saya sengaja untuk bersikeras masuk karena saya ingin tahu seperti apa sebenarnya tempat makan yang telah membuat saya merasa terhina ini.
    Akhirnya si resepsionis membolehkan saya masuk dengan meminta saya menyorongkan jilbab bagian depan ke belakang agar dahi saya bisa terlihat kamera CCTV.
    Saya melakukannya sebatas itu tidak memperlihatkan rambut saya.
    Melapor ke Komisi HAM Canberra
    Saya dan teman saya yang kebetulan bekerja di Komisi HAM Canberra berpendapat sama bahwa tindakan resepsionis tidaklah benar. Ini juga bertentangan dengan undang-undang anti diskriminasi ACT (Australian Capital Territory) tahun 1991.
    Kami pun melaporkan kejadian tersebut ke Komisi HAM Canberra sehari setelah peristiwa itu dengan membuat laporan tertulis di dalam discrimination complaint form.
    Dalam tuntutan yang kami ajukan, saya tidak menginginkan kompensasi atau ganti rugi apapun secara materi (meskipun teman saya sempat mengusulkan). Yang saya inginkan adalah klarifikasi dan perubahan sikap dari managemen restoran dan setiap individu yang bekerja disana untuk tidak melakukan diskriminasi apapun kepada setiap pengunjung.
    Bahkan saya menekankan agar si resepsionis jangan sampai mendapat pemutusan kerja melainkan harus lebih banyak mendapat training. Saya juga menuntut permintaan maaf secara resmi dan tertulis dari si resepsionis dan
    managemen Dickson Tradies.
    Seorang senior conciliator and review officer dari Komisi HAM Canberra langsung menangani kasus kami. Ia sekaligus menjadi moderator antara kami serbagai pelapor dan Dickson Tradies sebagai terlapor.
    Cukup lama kami menunggu proses mediasi. Baru pada tanggal 29 Oktober 2012, Komisi berhasil mempertemukan kami dengan managemen Dickson Tradies yang ketika itu diwakili chief executive officer dan general manager dalam agenda konsiliasi masalah.
    Pertemuan itu berjalan lancar dan kami mendapatkan penjelasan tentang kebijakan anti diskriminasi yang telah diterapkan managemen dan masalah saya memang kali pertama terjadi.
    Terlebih hal tersebut dilakukan resepsionis yang terbilang karyawan senior di perusahaan tersebut. Secara lisan, mereka menyampaikan permohonan maaf atas nama perusahaan dan berjanji akan melakukan training rutinn tentang anti-diskriminasi kepada setiap karyawan serta memasang manual yang lebih jelas tentang beragam busana termasuk penutup kepala yang berkaitan dengan
    keagamaan .
    Sehingga kasus yang saya alami tidak akan pernah terjadi lagi.
    Sayangnya Resepsionis Dipecat
    Meskipun saya meminta agar resepsionis tersebut tidak dipecat, sayangnya mereka menyampaikan bahwa resepsionis yang bersangkutan sudah tidak bekerja lagi alias dipecat di perusahaan. Namun demikian mereka akan tetap meminta si resepsionis membuat permintaan maaf secara tertulis.
    Saya pribadi sangat menyayangkan atas pemecatan si resepsionis karena itu menyalahi salah satu poin tuntutan saya.
    Saat saya tanyakan apakah kasus saya yang menjadi penyebab pemecatan tersebut, perwakilan Dickson Tradies berkilah bahwa bukan masalah saya penyebabnya tapi
    pegawainya itu telah melakukan beberapa kesalahan lain.
    Saya dan teman saya menyarankan jika memang busana religi (tidak hanya busana umat Islam) dianggap mengganggu pemeriksaan keamanan, hal tersebut dapat disiasati dengan melakukan pemeriksaan di tempat tertutup, misalnya dalam bilik khusus seperti yang diterapkan di beberapa bandar udara dan bukannya di tempat terbuka.
    Sementara Komisi HAM ACT menyarankan agar Dickson Tradies menggandeng organisasi keagamaan sebagai konsultan teknis anti-diskriminasi religi.
    Pihak Dickson Tradies tidak keberatan dan menyetujui usulan-usulan tersebut yang kemudian dijakikan poin-poin kesepakatan dalam rapat konsiliasi itu.
    Meskipun saat temu muka, pihak Dickson Tradies terkesan sangat kooperatif, tetapi ternyata untuk menandatangani segala kesepakatan tersebut mereka membutuhkan waktu yang cukup lama, hampir satu bulan.
    Baru pada 26 November 2012, chief executive officer menandatanganinya.
    Saya, teman saya, dan Komisi HAM ACT sempat merasa kecewa dengan lamanya penandatanganan tersebut.
    Yang lebih mengecewakan lagi ternyata permohonan maaf secara tertulis dari Dickson Tradies baru mereka buat dan disampaikan ke saya melalui Komisi HAM ACT pada 18 Desember 2012.
    Mereka juga mengatakan gagal meminta si resepsionis untuk membuat permintaan maaf tertulis.
    Secara keseluruhan, proses penyelesaian masalah diskriminasi ini memakan waktu lebih kurang tiga bulan. Banyak pelajaran yang bisa didapatkan tertutama tentang penegakan anti-diskriminasi yang difasilitasi Komisi HAM ACT. Pengalaman ini bisa menjadi pelajaran penegakan HAM di tempat- tempat lainnya. (sri murni)
Tulisan ini tersedia juga di : menixnews.wordpress.com

3 komentar:

  1. waw sadis bnget ya mba.. namanya juga di luar kita kan ga pernah tau orang akanm seperti apa perlakuannya ke kita...

    BalasHapus
  2. Iya mas... bener... tapi kita harus tetap berjuang untuk keadilan dan equality... Terimakasih sudah singgah ya mas...

    BalasHapus
  3. Mbak cukup berjiwa besar dan berani saya salut

    BalasHapus